Selasa, 05 November 2013

Berdagang dan Bermuamalah dengan non-Muslim

Selama perjalanan sejarah dakwahnya, Nabi dan para sahabat melakukan aktivitas muamalah dengan orang Yahudi. Realita ini memberi panduan pada kita mengenai cara memboikot yang benar terhadap produk-produk perusahaan milik orang-orang Yahudi.

Perjalanan sejarah umat Islam mengalami pasang dan surut. Awalnya umat Islam dalam kondisi lemah, sehingga ditindas oleh umat lain. Penindasan, intimidasi, dan bahkan pembunuhan sebagian umat Islam, mewarnai awal sejarah agama ini. Namun kondisi menyedihkan tersebut berlangsung tak lama, karena kemudian berubah menjadi kejayaan dan kemenangan.


Suatu hari seorang lelaki datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam guna mengeluhkan kemiskinan yang melilitnya. Tidak selang beberapa lama datang lelaki lain yang mengeluhkan perihal para perampok yang merajalela. Menanggapi keluhan kedua sahabatnya itu beliau bersabda: "Wahai Adi bin Hatim, apakah engkau pernah pergi ke kota Al-Hairah?” Sahabat Adi menjawab, ”Aku belum pernah mmengunjunginya, namun aku pernah mendengar perihal kota tersebut.”Nabi bersabda:” Jika engkau berumur panjang, niscaya suatu saat nanti engkau akan menyaksikan seorang wanita yang bepergian dari kota Al-Hairah menuju kota Makkah untuk menunaikan ibadah tawaf di Kabah tanpa ada yang ia takuti selain Allah.” (HR. Bukhari)

Hadis tersebut memberi gambaran tentang perkembangan sejarah Islam di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kejayaan demi kejayaan terus dipetik oleh umat Islam di bawah bimbingan Nabi, yang kemudian dilanjutkan oleh para khulafa’ ar rasyidin. Hingga pada saatnya di zaman khilafah Umar bin Al-Khatthab, umat Islam berhasil mencapai puncak kejayaannya, sehingga mampu menundukkan dua negara adi daya kala itu, yaitu Persia dan Romawi.

Dengan mengamati perkembangan sejarah Islam sejak awal hingga pada saat Islam mencapai puncak kejayaannya, kita mendapatkan satu hal unik yang patut untuk kita cermati bersama.

Walau Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil menundukkan kabilah-kabilah Yahudi, namun tetap saja beliau menjalin hubungan dagang dengan mereka. Beliau mempercayakan pengolahan ladang-ladang beliau di Negeri Khaibar kepada orang-orang Yahudi, dengan ketentuan bagi hasil. (Muttafaqun ‘alaihi)

Bahkan hingga akhir hayatnya beliau tiada pernah merasa sungkan bertransaksi dengan orang-orang Yahudi.

Aisyah, isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengisahkan, pada akhir hayatnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli beberapa takar gandum dari seorang pedagang Yahudi. Namun karena beliau belum mampu membayarnya, beliau menggadaikan perisai perangnya kepada pedagang Yahudi tersebut. Dan hingga ajal menjemputnya, beliau belum juga mampu menebus perisai perangnya itu dari pedagang Yahudi tersebut. Demikian kisah ini diabadikan oleh Imam Bukhari, Muslim, Ahmad dan lainnya dalam kitab-kitab hadisnya.

Kejayaan yang telah terwujud bagi umat Islam tidaklah menghalanginya untuk berinterasi niaga dengan para penganut agama lain. Kondisi ini terus berlangsung sampai pun umat Islam telah berhasil mencapai puncak kejayaannya di zaman Amirul Mukminin Umar bin Al-Khatthab Radhiyallallahu ‘anhu.

Hubungan dagang antara umat Islam dan para penganut agama lain terus berlangsung, walaupun permusuhan antara umat Islam dan orang-orang kafir juga terus berlanjut.

Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi mengisahkan, sahabat Abu Musa Al-Asy’ary mengadukan perlakuan musuh-musuh Islam (kafir harby) terhadap para pedagang Muslim yang berdagang di negeri mereka. Mereka memungut upeti dari para setiap pedagang Muslim yang berdagang ke negeri mereka sebesar 10 % dari penghasilannya.

Menyikapi perilaku negeri-negeri musuh Islam tersebut, Khalifah Umar memerintahkan agar sahabat Abu Musa memperlakukan para pedagang negeri kafir yang masuk ke negeri Islam dengan cara yang sama.

Sikap umat Islam ini membuktikan bahwa menjalin hubungan dagang dengan orang-orang kafir adalah sah-sah saja, selama tidak mengancam kehormatan atau melanggar hukum syariat. Terlebih bila kondisi umat Islam tidak memungkinkan berkonfrontasi dengan negara-negara kafir.

Karena itu, dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan perjanjian damai dengan sebagian kabilah Yahudi, dan juga dengan orang-orang kafir Quraisy.

Syeikh Abdul Aziz bin Baz berkata, “Setiap negara bertanggung jawab untuk mengkaji kepentingan masing-masing. Bila suatu negara meyakini bahwa maslahatnya mengharuskan menjalin hubungan diplomatik, perdagangan dan kegiatan lainnya yang dihalalkan secara syariat, tidak mengapa untuk dijalankan. Dan bila negara merasa bahwa yang lebih maslahat ialah memutuskan hubungan dengan orang-orang Yahudi, itulah keputusan yang harus dijalankan. Dan demikian juga halnya dengan hubungan dagang dengan negara-negara kafir yang lain ... Ini semuanya berlaku pada saat umat Islam dalam kondisi lemah, sehingga tidak kuasa berkonfrontasi dengan orang-orang kafir, atau memungut upeti (jizyah) dari mereka bila mereka ahlul kitab atau penganut agama majusi. Ada pun bila ummat Islam kuasa untuk berperang melawan mereka, tidak dibenarkan mengadakan perjanjian damai atau menghentikan peperangan atau menghapuskan kewajiban membayar jizyah. Perjanjian damai hanya boleh dilakukan bila umat Islam benar-benar tidak kuasa memerangi mereka. Atau tidak kuasa memaksa mereka membayar jizyah.” (Majmu’ Fatwa Ibnu Baz, 18/450-453)

Dasar penjelasan Syeikh Ibnu Baz tersebut ialah firman Allah, yang artinya, ”Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada HariKkemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah: 29)

Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa keputusan memberlakukan boikot, atau yang sering disebut dengan istilah embargo, adalah wewenang pemerintah Muslim. Ada pun masyarakat biasa, siapa pun orangnya, tidak dibenarkan berbuat lancang mendahului keputusan pemerintahnya, agar tidak terjadi kekacauan karena lepas kontrol. Wallahu Ta’ala a’alam bisshawab

Sumber : http://pengusahamuslim.com/

0 komentar:

Posting Komentar