Minggu, 10 November 2013

Kriteria Memilih Karyawan dan Pegawai

Asas utama dalam memilih setiap karyawan dan pegawai adalah hendaknya orang tersebut adalah orang yang mampu dan terpercaya, dengan kekuatan dia akan mampu menyelesaikan pekerjaan yang dituntut darinya, dan dengan amanah dia akan menjalankan tugasnya sesuai dengan semestinya, yang dengan hal itu dia telah terbebas dari tanggungan. Sebab dengan amanah dia akan meletakkan tiap perkara pada tempatnya masing-masing dan dengan kekuatan dia akan memapu menyelesaikan kewajibannya. Allah Subhana wata’ala telah mengabarkan tentang salah satu putri saudara kaum Madyan (yakni Syu’aib) bahwasanya dia berkata kepada ayahandanya ketika Nabi Musa ‘Alaihissalam membantu keduanya meminumkan ternaknya (yang artinya),


Wahai Ayahanda ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang ayahanda ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashash: 26)
Allah Subhana wata’ala mengisahkan tentang ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin yang menawarkan kesanggupannya kepada Sulaiman ‘Alaihissalam untuk mendatangkan singasana Ratu Balqis (yang artinya),
Aku akan datang kepadamu dengan membawa singasana itu kepadamu, sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; Sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.” (QS. An-Naml: 39)

Maknanya, bahwasanya dia (‘Ifrit) mengumpulkan pada dirinya antara kekuatan membawa singasana tersebut dan menghadirkannya dengan tetap menjaga keutuhannya.

Dan Allah Subhana wata’ala mengabarkan tentang Nabi Yusuf ‘Alaihissalam bahwasanya dia mengatakan kepada sang Raja (yang artinya),
Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55)

Sedangkan lawan dari kekuatan dan amanah adalah kelemahan dan khianat, keduanya merupakan asas dasar untuk tidak menunjuk/mengangkat seseorang menjadi pegawai/karyawan dan merupakan alasan yang bersifat mendasar untuk menurunkan seseorang dari jabatan/pekerjaan.

Tatkala ‘Umar bin Al-Khathab Radiyallahu’anhu menjadikan Sa’ad bin Abi Waqqash Radiyallahu’anhu sebagai gubernur Kufah, kemudian sebagian orang-orang bodoh menjarah kehormatannya dan senantiasa menggunjingnya (menjelek-jelekkan, -pent) di sisi ‘Umar bin Al-Khathab Radiyallahu’anhu, maka ‘Umar Radiyallahu’anhu –pun memiliki pandangan adanya maslahah (manfa’at, -pent) ketika menurunkannya dalam rangka menutup pintu fitnah dan agar tidak ada seorangpun yang menyakitinya.

Akan tetapi ketika ‘Umar Radiyallahu’anhu sakit menjelang kematiannya, beliau menunjuk enam shahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam untuk dipilih sebagai khalifah sepeninggal beliau, dan dalam enam kandidat tersebut salah satunya Sa’ad bin Abi Waqqash Radiyallahu’anhu. Beliau khawatir timbul prasangka ‘Umar menurunkannya dari jabatan gubernur Kufah dikarenakan ketidak-cekatannya dalam memimpin wilayah, maka beliau menafikan semua sangkaan itu dengan ucapan beliau Radiyallahu’anhu, “Apabila pimpinan jatuh kepada Sa’ad, maka kepemimpinan itu miliknya, apabila tidak maka mintalah bantuan kepadanya bagi siapa saja diantara kalian yang terpilih menjadi pemimpin. Karena sesungguhnya aku menurunkan dia bukan dikarenakan dia lemah dan berkhianat.” (HR. Bukhari, 3700)

Dan dalam Shahih Muslim dari Abu
Dzar Radiyallahu’anhu, ia berkata, “Ya Rasulullah, kenapa engkau tidak mengangkatku menjadi pegawai?” Abu Dzar (periwayat hadits) melanjutkan perkataannya, “Maka beliau (Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam) menepukkan tangannya ke pundakku, kemudian berkata, ‘Wahai Abu Dzar! Sesungguhnya kamu itu lemah, sedang apa yang kamu minta itu adalah amanah, tidak lain hal itu hanyalah kehinaan dan penyesalan pada Hari Kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan kewajiban di dalamnya.’.” (HR. Muslim, 1825)

Juga dalam Shahih Muslim dari Abu Dzar Radiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Abu Dzar! Aku melihat kamu orang yang lemah. Sedangkan aku mencintai untukmu apa-apa yang aku cintai untuk diriku sendiri. Janganlah kamu memimpin dua orang dan janganlah kamu mengurusi anak yatim.” (HR. Muslim, 1826)

(Note : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengetahui bahwa Shahabat Abu Dzar Radiyallahu’anhu terkenal gemar bersedekah, sehingga dikhawatirkan bila ia menjadi pemimpin, akan menghabiskan baitul mal / uang negara untuk dia sedekahkan, -pent)

[Sumber: “Kaifa Yuaddi Al-Muwadhifu Al-Amanah”, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad. Edisi terjemahan “Cermin Pegawai Muslim, dalam Bimbingan Al-Qur’an & As-Sunnah”, penerjemah Abu Hudzaifah, penerbit Maktabah Al-Ghuroba, cetalan ke-2, Juni 2009.]

0 komentar:

Posting Komentar