Minggu, 10 November 2013

Menjaga Jam Kerja Untuk Meningkatkan Kualitas Kerja

Wajib bagi setiap pegawai dan keryawan untuk menggunakan jam kerjanya untuk menjalankan tugas khususnya, sehingga dia tidak menyibukkan diri pada jam kerja tersebut dengan urusan lain selain tugas yang wajib dia kerjakan serta tidak menggunakan seluruh jam kerja atau sebagiannya untuk kepentingan pribadi dan tidak pula untuk kepentingan orang lain, apabila memang tidak ada hubungan kerja dengannya. Sebab jam kerja bukanlah milik pegawai dan karyawan, bahkan jam kerja tersebut untuk meningkatkan kualitas kerja yang dia mengambil upah darinya sebagai imbalan.



Syaikh Al-Mu’ammar bin ‘Ali Al-Baghdadi rahimahullah (wafat tahun 507 H) memberikan wejangan dan nasehat kepada para pejabat sipil kerajaan, diantara yang beliau ucapkan pada awal nasehat tersebut adalah, “Sudah menjadi perkara yang maklum –wahai para pemuka Islam!-, bahwasanya salah seorang rakyat memiliki pilihan dalam tujuan dan pelaksanaan (urusan mereka sendiri), apabila mereka mau, mereka meneruskan dan apabila mau, mereka bisa menghentikan. Adapun orang yang memegang wilayah, sama sekali tidak memiliki kebebasan dalam keinginan dan pelaksanaan. Sebab siapa yang diangkat sebagai pemimpin, pada hakekatnya dia adalah pegawai, dia telah menjual waktunya dan telah mengambil harganya., sehingga tidak tersisa lagi baginya dari siangnya waktu untuk melakukan sesuatu sesuai dengan pilihannya, tidak ada waktu baginya untuk shalat nafilah (sholat sunnah) dan tidak pula masuk i’tikaf...., sebab hal itu hanyalah tambahan, sedangkan ini (yakni tugas yang ia emban) adalah kewajiban yang pasti.”
Diantaranya pula ucapan beliau ketika memberikan nasehat, “Makmurkan kuburmu sebagaimana engkau memakmurkan istanamu.” [Dzail Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Rajab (1/107)]

Sebagaimana manusia itu senang mengambil upahnya dengan penuh dan sempurna serta tidak suka apabila dikurangi sedikit saja, begitu pula wajib baginya untuk tidak mengurangi sedikit saja dari jam kerjanya untuk dia gunakan selain mengurusi pekerjaannya. Allah Subhana wata’ala telah mencela Al-Muthaffifin (orang-orang yang curang) dalam menakar dan menimbang, yakni orang-orang yang meminta hak-haknya dipenuhi, namun dia sendiri suka mengurangi hak-hak orang lain.

Allah Subhana wata’ala berfirman (yang artinya), “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam?” (QS. Al-Muthaffifin: 1-6)

[Sumber: “Kaifa Yuaddi Al-Muwadhifu Al-Amanah”, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad. Edisi terjemahan “Cermin Pegawai Muslim, dalam Bimbingan Al-Qur’an & As-Sunnah”, penerjemah Abu Hudzaifah, penerbit Maktabah Al-Ghuroba, cetalan ke-2, Juni 2009.]

0 komentar:

Posting Komentar