Minggu, 10 November 2013

Mendahulukan Orang yang Datang Lebih Awal dari Orang-orang yang Punya Hajat

Termasuk sikap adil dan pertengahan yaitu seorang pegawai tidak mengakhirkan orang-orang yang datang lebih dahulu dari orang-orang yang memilki keperluan, ataupun mendahulukan orang yang datang lebih akhir (dengan keperluan atau hajat yang sama, pent). Bahkan hendaknya dia mendahulukan orang sesuai dengan urutan (antrian). Pada yang demikian itu terdapat ketenangan bagi para pegawai dan orang yang memiliki keperluan. Telah datang dalam Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hadits yang menunjukkan kepada hal ini, dari Abu Hurairah radiyallahu’anhu, ia berkata,


“Tatkala Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam sedang bermajlis menyampaikan pembicaraan kepada sekumpulan orang, tiba-tiba saja datang seorang Arab badui seraya mengatakan, ‘Kapan hari Kiamat itu (wahai Rasulullah)?’

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam –pun terus meneruskan pembicaraannya, hingga sebagian orang mengatakan, ‘Beliau mendengar, namun (kelihatannya) beliau tidak suka dengan apa yang ditanyakannya.’ Sebagian yang lain menimpali, ‘Bukan, beliau tidak mendengarnya.’
Hingga tatkala beliau selesai dari pembicaraannya, beliau bertanya, ‘Dimana orang yang aku lihat bertanya tentang Hari Kiamat tadi?’ dia (orang yang bertanya tadi) menjawab, ‘Saya wahai Rasulullah!’
Beliau bersabda, ‘Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah Hari Kiamat.’ Orang tadi bertanya lagi, ‘Bagaimana bentuk disia-siakannya (Wahai Rasulullah)?’ Beliau menjawab, ‘Apabila urusan diserahkan kepada selain ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.’.” (HR. Bukhari, 59)

Segi pedalilan dari hadits ini, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak menjawab pertanyaan orang yang bertanya tentang hari Kiamat kecuali setelah selesai berbicara dengan orang yang mendahuluinya. Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan dalam penjelasannya, “Dan diambil faedah dari hadits tersebut memulai pelajaran sesuai dengan urutan, demikian juga dalam masalah fatwa, hukum dan yang lainnya.”

Disebutkan dalam biografi Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullah dalam Lisanul Mizan karya Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah, bahwa diriwayatkan dari Ibnu ‘Asakir dari jalan Abu Ma’bad ‘Utsman bin Ahmad Ad-Dainuri, ia mengatakan, “Aku pernah menghadiri majelis Muhammad bin Jarir (Ath-Thabari) dan hadir di situ Al-Fadhl bin Ja’far bin Al-Furat sang menteri, namun dia telah didahului oleh seorang laki-laki. Maka Ath-Thabari mengatakan kepada laki-laki tersebut, ‘Bacalah!’, laki-laki tersebut-pun mengisyaratkan kepada sang menteri. Maka Ath-Thabari mengatakan kepada laki-laki tadi, ‘Apabila datang giliranmu, janganlah kamu memperhatikan sungai Tigris, dan jangan pula sungai Furat (Eufrat).’.”

Saya (Ibnu Hajar) katakan, “Ini termasuk rahasia kelembutan dan balaghagh (tutur bahasa) beliau serta tidak memalingkan perhatian kepada anak-anak dunia (yakni segala sesuatu yang ada di dunia).”

[Sumber: “Kaifa Yuaddi Al-Muwadhifu Al-Amanah”, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad. Edisi terjemahan “Cermin Pegawai Muslim, dalam Bimbingan Al-Qur’an & As-Sunnah”, penerjemah Abu Hudzaifah, penerbit Maktabah Al-Ghuroba, cetalan ke-2, Juni 2009.]

0 komentar:

Posting Komentar