Wajib bagi setiap pegawai untuk senatiasa menjaga kehormatan
dan kesucian diri, memiliki jiwa mulia, dan kaya hati, jauh dari perbuatan
memakan harta manusia dengan cara yang batil, dari ‘suap’ yang diberikan
kepadanya meskipun dinamakan dengan ‘hadiah’. Sebab apabila dia mengambil harta
manusia tanpa cara yang benar berarti dia telah memakan harta tersebut dengan
cara yang batil. Sedangkan memakan harta orang lain dengan cara yang batil
merupakan sebab tidak dikabulkannya do’a. Imam Muslim telah meriwayatkan dalam
Shahih-nya dari Abu Hurairah radiyallahu’anhu, ia berkata, Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya
Allah Ta’ala itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik, dan
sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin dengan apa-apa yang Dia
perintahkan kepada para rasul. Maka Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Hai
para Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang
shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51).
Dan Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah
untuk kalian diantara rizki yang baik-baik, yang telah Kami berikan kepada
kalian.’ (QS. Al-Baqarah: 172).”
Kemudian
beliau menyebutkan seseorang yang jauh safarnya (perjalanannya), kusut masai
rambutnya, dan penuh debu kakinya, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit,
“Ya Rabbi, Ya Rabbi!” Padahal makanannya haram, minumannya haram dan pakaiannya
haram, lalu bagaimana mungkin akan dikabulkan do’anya?!. (HR. Muslim : 1015)
Dan diantara
dalil yang sangat tegas agar lari dari memakan harta orang lain dengan cara
yang batil adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya
dari Jundab bin ‘Abdillah, ia berkata, “Sesungguhnya organ manusia yang paling
dulu membusuk adalah perutnya. Oleh sebab itu, barangsiapa yang mampu untuk
tidak makan kecuali makanan yang baik, maka lakukanlah! Barangsiapa yang mampu
untuk tidak terhalang antara dirinya dengan Jannah (surga) disebabkan segenggam
darah yang dia alirkan, maka lakukanlah!” (HR. Bukhari : 7152)
Juga hadits
yang beliau (Imam Bukhari) riwayatkan dari Abu Hurairah radiyallahu’anhu,
dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Sungguh! Akan
datang kepada manusia suatu zaman, dimana seseorang tidak lagi mempedulikan
harta yang dia ambil, dari yang halalkah atau dari yang haram?” (HR. Bukhari :
2083)
Menurut
mereka yang mengambil harta tanpa mau ambil peduli, bahwa yang halal adalah apa
yang sampai ke tangan mereka dan yang haram adalah apa-apa yang tidak sampai ke
tangan mereka. Adapun yang halal dalam Islam adalah apa-apa yang dihalalkan
oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasallam,
sedangkan yang haram adalah apa-apa yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla
dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Telah warid
(tetap) dalam Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
hadits-hadits yang menunjukkan larangan bagi seorang pegawai dan karyawan
mengambil harta (uang suap) meskipun dinamakan hadiah. Diantaranya hadits Abu
Humaid As-Sa’idi radiyallahu’anhu, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam mengangkat seorang laki-laki dari suku Asad yang dikenal dengan Ibnu
Lutbiyyah untuk memungut zakat. Tatkala dia pulang, dia mengatakan, ‘Ini untuk
kalian, sedangkan ini hadiah untukku.’.”
Berkata
perawi (yang meriwayatkan hadits), ‘Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam naik mimbar, kemudian memuji dan menyanjung Allah Azza wa Jalla,
lalu berkata, “Apa gerangan seorang amil yang aku utus, kemudian dia
mengatakan, ‘Ini untuk kalian, sedangkan ini hadiah untukku.’ Kenapa dia tidak
duduk saja d rumah ayah atau ibunya kemudian menunggu apakah dia diberi hadiah
ataukah tidak?! Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada ditangan-Nya! Tidaklah
salah seorang diantara kalian mengambil sedikit saja dari harta tersebut
melainkan dia akan datang pada Hari Kiamat dengan membawanya di atas lehernya,
berupa (apabila berupa unta, maka) unta yang bersuara, atau (bila berupa sapi)
sapi yang bersuara, atau (bila berupa kambing) kambing yang bersuara.”.’ (HR.
Al-Bukhari : 7174, dan Muslim : 1832)
Disebutkan
pula dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu’anhu,
ia berkata, “Pada suatau hari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
berdiri di tengah-tengah kami, kemudian beliau menyebutkan tentang ghulul
(harta ghanimah -rampasan perang- yang digelapkan/diambil sebelum dibagikan)
beliaupun memperbesar dan menganggap besar masalahnya, lalu beliau bersabda,
‘Jangan sampai aku menjumpai salah seorang diantara kalian datang pada Hari
Kiamat di atas lehernya terdapat unta yang bersuara. Lalu dia berkata, “Wahai
Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku menjawab, “Aku tidak memiliki kemampuan
sedikitpun untuk menolongmu. Aku telah menyampaikannya kepadamu.”
Jangan
sampai aku menjumpai salah seorang diantara kalian datang pada hari Kiamat di
atas lehernya terdapat kuda yang meringkik. Lalu dia mengatakan, “Wahai
Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku menjawab, “Aku tidak memiliki kemampuan
sedikitpun untuk menolongmu. Aku telah menyampaikannya kepadamu.”
Jangan
sampai aku menjumpai salah seorang diantara kalian datang pada hari Kiamat di
atas lehernya terdapat kambing yang mengembik. Lalu dia mengatakan, “Wahai
Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku menjawab, “Aku tidak memiliki kemampuan
sedikitpun untuk menolongmu. Aku telah menyampaikannya kepadamu.”
Jangan
sampai aku menjumpai salah seorang diantara kalian datang pada hari Kiamat di
atas lehernya terdapat jiwa yang berteriak. Lalu dia mengatakan, “Wahai
Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku menjawab, “Aku tidak memiliki kemampuan
sedikitpun untuk menolongmu. Aku telah menyampaikannya kepadamu.”
Jangan
sampai aku menjumpai salah seorang diantara kalian datang pada hari Kiamat di
atas lehernya terdapat Ar-Riqa’ (pakaian) yang bergerak-gerak. Lalu dia
mengatakan, “Wahai Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku menjawab, “Aku tidak
memiliki kemampuan sedikitpun untuk menolongmu. Aku telah menyampaikannya
kepadamu.”
Jangan
sampai aku menjumpai salah seorang diantara kalian datang pada hari Kiamat di
atas lehernya terdapat Ash-Shamit (emas dan perak). Lalu dia mengatakan, “Wahai
Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku menjawab, “Aku tidak memiliki kemampuan
sedikitpun untuk menolongmu. Aku telah menyampaikannya kepadamu.’.” (HR.
Bukhari : 3073, dan Muslim : 1831)
Diantaranya
juga hadits Abu Humaid As-Sa’idi radiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada
pegawai adalah ghulul.” (HR. Ahmad : 23601, dan yang lainnya) Hadits ini
semakna dengan hadits yang telah berlalu tentang kisah Ibnul Luthbiyyah.
[Note:
Hadiah yang dimaksud dalam hadits diatas adalah hadiah yang diberikan oleh
orang lain ketika dia bekerja (atau terkait dengan pekerjaannya/jabatannya),
bukan hadiah yang diberikan diluar pekerjaannya. Adapun memberikan hadiah
diluar pekerjaan adalah mustahab / dianjurkan. Tidak termasuk juga dalam hadits
diatas, hadiah yang diterima dari majikannya/atasannya. Sedangkan yang dimaksud
ghulul adalah harta ghanimah (hasil rampasan perang) yang digelapkan sebelum
dibagi.]
Juga hadits
‘Adi bin ‘Amirah Al-Kindi ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam berdsabda, ‘Siapa saja diantara kalian yang kami angkat
untuk mengurusi suatu pekerjaan, kemudian dia menyembunyikan dari kami satu
buah jarum atau yang yang lebih berharga, maka hal itu termasuk ghulul, dia
akan datang membawanya pada Hari Kiamat.’.” (HR. Muslim : 1833)
Diantaranya
juga hadits Buraidah dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda, “Siapa saja yang kami beri amanah mengerjakan sesuatu kemudian kami
beri upah, namun ternyata setelah itu dia mengambil (selain dari upahnya), maka
itu termasuk ghulul.” (HR. Abu Dawud : 2943)
Dan
disebutkan dalam biografi Iyadh bin Ghanam radiyallahu’anhu dalam Kitab Shafatush
Shafwah karya Ibnul Jauzi (1/277), yang mana dia seorang gubernur yang
ditunjuk oleh ‘Umar bin Al-Khathab radiyallahu’anhu di kota Hamsh, bahwasanya dia mengatakan kepada
sebagian karib-kerabatnya dalam kisah yang sangat panjang, “Dami Allah! Tubuhku
dibelah dengan gergaji lebih aku sukai daripada aku mengkhianati (korupsi) uang
atau menggelapkannya.”
(Tulisan ini
adalah yang terakhir, yang kami kutip dari tulisan aslinya “Kaifa Yuaddi
Al-Muwadhifu Al-Amanah”, karya Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad. Dan diakhir
tulisan beliau rahimahullah berkata...)
Dan
akhirnya, saya memohon kepada Allah Azza wa Jalla semoga memberikan
taufik kepada setiap pegawai dan karyawan muslim untuk menjalankan pekerjaannya
sesuai dengan cara yang diridhai oleh Allah Ta’ala, yang akhirnya kembali
membawa pahala dan akibat yang terpuji baginya di dunia dan di akhirat.
Shalawat dan Salam serta Barokah semoga tetap tercurahkan kepada hamba
sekaligus utusan-Nya, Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para shahabatnya.
[Sumber: “Kaifa
Yuaddi Al-Muwadhifu Al-Amanah”, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad. Edisi
terjemahan “Cermin Pegawai Muslim, dalam Bimbingan Al-Qur’an & As-Sunnah”,
penerjemah Abu Hudzaifah, penerbit Maktabah Al-Ghuroba, cetalan ke-2, Juni
2009.]
0 komentar:
Posting Komentar